Minggu, 30 Oktober 2011

KEBENARAN ITU RELATIF

Slogan relativisme ini sebenarnya lahir dari kebencian. Kebencian terhadap agama. Benci terhadap sesuatu yang mutlak dan mengikat. Generasi postmodernis pun mewarisi kebencian ini. Tapi semua orang tahu, kebencian tidak pernah bisa menghasilkan kearifan dan kebenaran. Bahkan persahabatan dan persaudaraan tidak selalu bisa kompromi dengan kebenaran. Aristotle rela memilih kebenaran dari pada persahabatan.

Tidak puas dengan sekedar membenci, postmodernisn lalu ingin menguasai agama-agama. “Untuk menjadi wasit tidak perlu menjadi pemain” itu mungkin logikanya. Untuk menguasai agama tidak perlu beragama. Itulah sebabnya mereka lalu membuat “teologi-teologi” baru yang mengikat. Kini teologi dihadapkan dengan psudo-teologi. Agama diadu dengan ideologi. Doktrin “teologi” pluralisme agama berada diatas agama-agama. “Global Theology” dan Transcendent Unity of Religions mulai dijual bebas. Agar nama Tuhan juga menjadi global di ciptakanlah nama “tuhan baru” yakni The One, Tuhan semua agama. Tapi bagaimana konsepnya, tidak jelas betul.Bukan hanya itu "Semua adalah relatif" kemudian menjadi sebuah kerangka berfikir. "Berfikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar", sebab kebenaran itu relatif. "Jangan terlalu lantang bicara tentang kebenaran, dan jangan menegur kesalahan", karena kebenaran itu relatif. "Benar bagi anda belum tentu benar bagi kami", semua adalah relatif. Kalau anda mengimani sesuatu jangan terlalu yakin keimanan anda benar, iman orang lain mungkin juga benar. Intinya semua diarahkan agar tidak merasa pasti tentang kebenaran.

Kata bijak Abraham Lincoln, "No one has the right to choose to do what is wrong", tentu tidak sesuai dengan kerangka fikir ini. Hadith Nabi Idha ra'a minkum munkaran, dst bukan hanya menyalahi kerangka fikir ini, tapi justru menambah kriteria Islam sebagai agama jahat (evil religion) versi Charles Kimbal.

Jadi merasa benar menjadi seperti "makruh" dan merasa benar sendiri tentu "haram". Para artis dan selebriti negeri ini pun ikut menikmati slogan ini. Dengan penuh emosi dan marah ada yang berteriak "Semuanya benar dan harus dihormati". Yang membuka aurat dan yang menutup sama baiknya. Confusing! Sadar atau tidak mereka sedang men "dakwah"kan ayat-ayat syetan Nietzsche tokoh postmodernisme dan nihilisme. "Kalau anda mengklaim sesuatu itu benar orang lain juga berhak mengklaim itu salah". Kalau anda merasa agama anda benar, orang lain berhak mengatakan agama anda salah.

Para cendekiawan Muslim pun punya profesi baru, yaitu membuka pintu surga Tuhan untuk pemeluk semua agama. "Surga Tuhan terlalu sempit kalau hanya untuk ummat Islam", kata mereka. Seakan sudah mengukur diameter surga Allah dan malah mendahului iradat Allah. Mereka bicara seperti atas nama Tuhan.

Slogan "Semua adalah relatif" kemudian diarahkan menjadi kesimpulan "Disana tidak ada kebenaran mutlak" (There exists no Absolute Truth)". Kebenaran, moralitas, nilai dan lain-lain adalah relatif belaka. Tapi karena asalnya adalah kebencian maka ia menjadi tidak logis. Kalau anda mengatakan "Tidak ada kebenaran mutlak" maka kata-kata anda itu sendiri sudah mutlak, padahal anda mengatakan semua relatif. Kalau anda mengatakan "semua adalah relatif" atau "Semua kebenaran adalah relatif" maka pernyataan anda itu juga relatif alias tidak absolut.

Kalau "Semua adalah relatif" maka yang mengatakan "disana ada kebenaran mutlak" sama benarnya dengan yang menyatakan "disana tidak ada kebenaran mutlak". Tapi ini self-contradictory yang absurd. "Semua adalah relatif" bisa berarti semua tidak ada yang tahu Tuhan yang mutlak dan kebenaran firmanNya yang mutlak. Jika begitu benarlah pepatah para hukama 'al-Nas a`da ma jahila, manusia itu musuh terhadap apa yang tak diketahuinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar