Minggu, 30 Oktober 2011

TUHAN TIDAK PERLU DIBELA

Apa yang ada dibenak anda ketika membaca judul tulisan di atas? Mungkin ada yang marah, kesel, geram dan sejenisnya. Mungkin ada juga yang menuduh bahwa judul tulisan ini melecehkan salah satu agama. Waduh, sepertinya rada kontroversial bahkan cenderung provokatif ya? Salah-salah, saya bisa dituduh sebagai orang kafir bahkan atheis sekalian. Hehe. Tapi sabar dulu, teman. Jangan menduga-duga, jangan mengira-ngira. Lebih baik baca sampai tuntas tulisan ini, setelah itu marilah kita renungkan bersama-sama.


Judul tulisan tersebut sama dengan judul sebuah buku yang ditulis KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yakni “Tuhan Tidak Perlu Dibela” yang diterbitkan oleh LkiS (1999). Isi bukunya sendiri berisi kritik mendasar terhadap pengetahuan, pemikiran, dan gerakan yang ditampilkan oleh komunitas Muslim yang saat itu lebih senang menampilkan sosok sektarianisme. Lebih lanjut, buku ini mencerminkan sikap Gus Dur untuk mengedepankan semangat kebersamaan, keadilan, dan kemanusiaan serta demokratisasi dalam menyikapi berbagai perkembangan dalam kehidupan sosial politik di Indonesia. Intinya, buku ini mengajak kita untuk menampilkan sikap arif dalam hidup untuk tidak banyak mencela pemahaman agama orang lain, sekaligus menghormatinya dalam kerangka demokrasi dan hak asasi manusia.

Namun, saya tidak akan membahas lebih jauh tentang buku ini. Yang menarik perhatian saya adalah judul buku yang cenderung kontroversial itu. Memang, selama ini Gus Dur cenderung “menyimpang” dari tata nilai kehidupan umum di masyarakat. Hingga akhirnya setelah memahami dengan hati yang lapang, mendadak saya tertawa sendiri. Judul buku yang ditulis Gus Dur itu ternyata tidak salah. Bahkan, saya berani menjamin bahwa judul buku itu 100 persen benar. Judul tulisan di atas bukan mencerminkan pelecehan terhadap suatu agama tertentu. Bukan pula ucapan seorang yang kafir atau cenderung atheis. Bukan, tetapi justru merupakan sebuah ungkapan hati yang tulus dari seorang hamba di hadapan Tuhannya. Gus Dur sepertinya sengaja membalik logika berpikir kita selama ini. Cenderung kontroversial, tetapi setelah dipikir-pikir, ucapannya (atau yang dia tulis) ternyata masuk akal juga.

Coba renungkan, teman. Judul tulisan ini ternyata sejalan dengan akidah tauhid yang kita pegang selama ini. Bahkan sudah diajarkan ketika masih duduk di bangku sekolah masa kanak-kanak dulu. Kita diajarkan bahwa Tuhan Maha Segalanya. Andaikan semua manusia di muka bumi ini tunduk beribadah kepada-Nya, maka hal ini tidak akan menambah kesempurnaan Tuhan yang memang telah sempurna. Begitu juga sebaliknya. Andaikan semua manusia itu membangkang alias tidak patuh kepada-Nya, maka hal itu tidak akan menurunkan derajat kesempurnaan-Nya sedikit pun. Karena Dia adalah Tuhan, Maha dari Segala Maha. Pemiliki Segala Sesuatu. Maka sudah sepantasnya kalau Dia tidak perlu dibela atau tidak memerlukan pembelaan kita sebagai makhluk-Nya. Yang perlu dibela sebenarnya adalah kita, manusia. Tuhan tidak memerlukan hal itu karena Dia Maha Sempurna.

Logikanya gini. Anda adalah seorang manusia (termasuk juga saya, hehehe). Jika banyak orang yang memuji anda, patuh pada anda, maka secara otomatis gengsi anda naik. Anda benar-benar dikagumi. Tetapi disaat lain, ketika semua orang mencela anda, menjelekkan anda, tidak patuh lagi kepada anda, maka anda baru saja kehilangan gengsi anda di mata mereka. Begitu bukan? Dan Tuhan bukanlah manusia. Jika Dia perlu pembelaan, berarti dia bukan tuhan tetapi manusia juga seperti kita. Tuhan sudah Maha Sempurna, dan tidak memerlukan pembelaan makhluk-Nya sedikit pun.

Lalu bagaimana jika agama kita, nama Tuhan kita dihina, dicacimaki dan sejenisnya? Apakah kita hanya diam saja hanya gara-gara kalimat “Tuhan Tidak Perlu Dibela”? Mmm… tentu tidak. Mungkin orang yang melakukan hal ini adalah dikarenakan belum memahami benar hakikat agama yang kita anut. Lebih baik kita beri pemahaman dengan cara yang baik (ma’ruf), bukan dengan cara radikal, seperti kekerasan yang membabi buta. Agama diciptakan bukan untuk sebuah kekacauan, tetapi justru untuk kebaikan umatnya (rahmatan lil ‘alamin). Namun, jika setelah diberi pengertian, mereka masih saja ‘membandel’, maka serahkan segalanya kepada Sang Pemilik Segala, Tuhan Yang Maha Esa. Karena hanya Dialah yang membolak-balikkan hati manusia.

Lebih lanjut, semua ibadah yang kita lakukan bukanlah bertujuan untuk menaikkan derajat kesempurnaan Tuhan, tetapi sebenarnya untuk kita sendiri. Tuhan, hakikatnya bukan memerlukan kita untuk menyembah-Nya, tetapi manusialah yang perlu untuk menyembah-Nya. Semua amal ibadah kita akhirnya akan kembali pada diri kita sendiri, bukan untuk Tuhan. Makanya ada surga dan neraka yang sengaja dipersiapkan untuk umat manusia di akhirat kelak. Manifestasi ibadah yang kita lakukan hendaknya merupakan sebuah bentuk rasa syukur kita kepada-Nya. Semacam ungkapan terima kasih kepada sang Maha Pencipta karena telah diberi nikmat yang begitu banyak. Maka tidaklah salah jika ada ungkapan yang mengatakan kalau ibadah bukanlah sebuah kewajiban, tetapi merupakan sebuah kebutuhan yang harus kita prioritaskan, seperti halnya kebutuhan primer manusia. Maka tak jarang dalam kisah-kisah sufistik, begitu banyak para sufi yang rela meninggalkan “dunia” hanya untuk menikmati kelezatan beribadah kepada-Nya.
Sekali lagi, kita hanyalah manusia, makhluk yang lemah di hadapan Tuhan Yang Maha Sempurna. Dia tak perlu dibela karena Dia Maha Kuasa. Pembelaan yang kita lakukan kepada-Nya hanyalah merupakan suatu bentuk manifestasi ibadah yang akan kembali untuk diri kita sendiri. Maka masih pantaskah kita angkuh dan membanggakan diri, padahal sebenarnya kita bukanlah apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar