Selasa, 21 Agustus 2012
MENANGISLAH UNTUK RAMADHAN YANG TELAH PERGI
Menangislah, jika itu bisa melapangkan gundah yang mengganjal sanubari.
Jika itu adalah ungkapan penyesalan bahwa Ramadhan telah pergi,
Tapi rasanya baru kemarin kami bertekad untuk menyempurnakan tarawih dan qiyamul lail, iya baru kemarin.
Menangislah karena Allah tak menjanjikan apa-apa untuk Ramadhan tahun depan apakah kami masih diikutsertakan pada Ramadhan tahun depan atau telah tertidur dibawah tumpukan tanah, sedangkan Ramadhan kali ini telah tiada, tersadar kami bahwa Ramadhan kali ini tersia-siakan. Menangislah untuk Ramadhan yang telah hilang. Biar butir bening itu jadi saksi penyesalan.
Ramadhan semakin berlari meninggalkan kami. Tarawih, sedekah, tilawah Qur’an, qiyamul lail, i’tikaf sudah tak mungkin lagi mewarnai hari-hari kami.
Ramadhan telah bergegas pergi, dan kami masih saja belum banyak berbuat…
Sungguh tak ada perpisahan yang tidak menyesakan dada
“Ya ALLAH, janganlah Engkau jadikan puasa ini yang terakhir dalam hidup kami. Seandainya ENGKAU berketetapan sebaliknya, maka jadikanlah puasa kami ini sebagai puasa yang dirahmati bukan yang hampa dan sunyi”
Sungguh saya tidak tahu apakah kami yang meninggalkan Ramadhan atau Ramadhan yang meninggalkan kami,
Yang kami rasa hanya ada kerinduan yang tersisa, rindu akan shalat shalat tarawih, mendengarkan bacaan Al Quran para imam tarawih, rindu tausiyah para ustad yang menyejukkan, rindu tadarrus Al Quran di shaf-shaf dan pojok-pojok masjid, rindu segera menyelesaikan tilawah pada setiap akhir juz, rindu melantunkan zikir sepanjang pagi sepanjang petang, rindu mereka yang berlomba menawarkan kebaikan, rindu perlombaan orang-orang bersedekah, berzakat fitrah dan zakat mal.
Sungguh rindu memperbanyak shalat-shalat sunnah, agar bisa bersama Rasul di syurga nanti, rindu menegakkan shalat malam, sahur dan berbuka puasa bersama, hal yang jarang kami lakukan berbuka bersama jika bukan Ramadhan, rindu berjuang untuk merasakan shalat khusuk, itikaf, muhasabah, meski masih bisa kami lakukan dimalam malam lain, namun beda rasanya di malam malam Ramadhan. Rindu detik-detik yang penuh rahmah sejak hilal 1 ramadhan sampai fajar 1 syawal, rindu malam malam bertabur ampunan siang dan senja bertabur rahmah dan kasih sayangmu ya ALLAH, rindu malam malam tanpa setan karena terbelenggu, rindu malam seribu bulan pembakar dosa dosa..
Ramadhan bergegas pergi, tersadar dan betapa malunya kami ketika pun ikut beramai mudik ke kampung, bergegas ke mall membeli baju lebaran, bergegas membeli bahan-bahan makanan dan kue lebaran, iya bergegas menyiapkan pesta bukan bergegas dengan ibadah demi kesempurnaan ibadah,
Ya ALLAH, ampuni kami, hambaMU yang tidak tahu diri, hadiah teragung yang engkau letakkan di pintu rumah kami, kami sisihkan dibalik pintu, kantong-kantong keberkatan dan pahala yang ENGKAU sediakan di akhir-akhir ramadhan kami sisihkan, kami lupakan karena kami sibuk menyiapkan kepergianMU dengan pesta…
Dan kini kami hanya Alumnus Universitas Ramadhan, semoga jiwa kami menjadi jiwa-jiwa yang akan terus bersemangat untuk meneruskan apa-apa yang kami lakukan selama Ramadhan, menjadi manusia yang menjadikan hari-hari di sebelas bulan esok adalah hari hari yang berkualitas dalam beribadah dan mampu menjaga stabilitas amal, sampai kemudian ALLAH menakdirkan untuk bertemu kembali pada Ramadhan berikutnya.
Selamat tinggal Ramadhan, semoga kami mampu menjadi Alumnus Ramadhan yang mumtaz dan cumlaude.
Senin, 30 April 2012
Kapan Terakhir Anda Pergi ke Kuburan ?
"Aku tidak mau menghantar mu, aku hanya mau menjemput mu. Kalau ngantar,aku pasti pulang sendirian,tetapi kalau jemput, kita pulang berdua. Makanya kalau diminta memilih, aku lebih baik jemput daripada ngantar. Akunggak mau ditinggal sendirian".
Petikan diatas bukan sebuah puisi cinta ABG ataupun syair lagu selingkuh 'sontoloyo' yang latah dijadikan jimat penglaris artis sekarang. Kalimat-kalimat ini yang kami dengar di rumah duka dan juga di pemakaman
suaminya. Suara itu terdengar berulang di bibir wanita muda itu. Bertiga mereka, ibu dan dua anaknya saling berangkulan. Tubuh-tubuh mereka bergetar lemah, lelah dihajar kesedihan dan putus asa. Tidak ada lagi tangis yang membahana laksana guruh disiang bolong, yang ada hanya tangisan dalam yang pilu menyayat hati. Tidak ada lagi air mata yang bisa ditumpahkan oleh mata-mata yang bengkak karena meratap itu.
Mereka menatap hampa ke arah liang lahat, menyaksikan orang yang sangat mereka cintai, perlahan diturunkan kedalam tanah merah. Seseorang tempat mereka berbagi canda, tawa dan duka, kini dimasukkan ke dalam perut bumi, lewat tali-tali tambang. Pemandangan yang membuat semua yang memiliki hati dan darah, meneteskan air mata. Mereka yang hadir, baik yang telah beruban atau berambut hitam tampak tertegun.
Petikan diatas bukan sebuah puisi cinta ABG ataupun syair lagu selingkuh 'sontoloyo' yang latah dijadikan jimat penglaris artis sekarang. Kalimat-kalimat ini yang kami dengar di rumah duka dan juga di pemakaman
suaminya. Suara itu terdengar berulang di bibir wanita muda itu. Bertiga mereka, ibu dan dua anaknya saling berangkulan. Tubuh-tubuh mereka bergetar lemah, lelah dihajar kesedihan dan putus asa. Tidak ada lagi tangis yang membahana laksana guruh disiang bolong, yang ada hanya tangisan dalam yang pilu menyayat hati. Tidak ada lagi air mata yang bisa ditumpahkan oleh mata-mata yang bengkak karena meratap itu.
Mereka menatap hampa ke arah liang lahat, menyaksikan orang yang sangat mereka cintai, perlahan diturunkan kedalam tanah merah. Seseorang tempat mereka berbagi canda, tawa dan duka, kini dimasukkan ke dalam perut bumi, lewat tali-tali tambang. Pemandangan yang membuat semua yang memiliki hati dan darah, meneteskan air mata. Mereka yang hadir, baik yang telah beruban atau berambut hitam tampak tertegun.
Dia, seorang manager berusia belia dari sebuah perusahaan penerbangan terkemuka, baru saja dipanggil menghadap ilahi. Kepergiannya yang begitu mendadak menyisakan duka yang dalam bagi istri dan anak-anaknya yang masih kecil. Tidak hanya itu saja, perusahaan tempat ia bekerja juga kehilangan manager unggulan yang baru saja akan dipromosikan. Begitu juga dengan kami,saudara dan sahabat-sahabat nya pun seolah tidak percaya dengan apa yang kami lihat. Begitu muda, demikian cepat dan sangat tak terduga.
Demikianlah kematian, satu-satunya bagian dari episode kehidupan yang harus dilalui oleh setiap mahluk yang berlabel 'hidup'. Hidup tak lengkap tanpa nya. Kadang dia datang merangkak perlahan, namun tak jarang menyergap tiba-tiba.
Demikianlah kematian, satu-satunya bagian dari episode kehidupan yang harus dilalui oleh setiap mahluk yang berlabel 'hidup'. Hidup tak lengkap tanpa nya. Kadang dia datang merangkak perlahan, namun tak jarang menyergap tiba-tiba.
Tetapi walaupun pasti, hanya sedikit dari kita yang ingat akan bab yang satu itu. Cukup mengherankan. Apakah itu satu-satunya bab yang tidak ingin kita bahas dari keseluruhan buku kehidupan ini. Pada bab pertama mungkin tertulis tentang kelahiran. Bab kedua dan ketiga tentang masa kecil. Bab ketujuh tentang pernikahan. Bab kesembilan tentang perselingkuhan yang memuakkan.
Selanjutnya tentang ambisi atau tambah istri. Bab kesebelas tentang entrepreneurship, lalu tentang tips mendatangkan uang dan kesuksesan. Tetapi bab terakhir, bertuliskan 'kematian', jarang dilirik. Kurang peminat. Mungkin karena bab pertama hingga bab kesekian selalu berbicara tentang 'aku' meskipun kadang diselubungi hal-hal yang tampak mulia, tetapi bab terakhir–bab penutup- berbicara tegas penuh otoritas tentang 'DIA', produser sekaligus sutradara hidup ini.
Begitu banyak mailing list tentang kesuksesan dan entrepreneur, tetapi milist tentang 'kematian', memang bukan ide yang akan mendatangkan uang bagi kita. Belum pernah ada seminar tentang "Seberapa Siap Anda Untuk Meninggal Dunia ?" diproklamirkan oleh sebuah event organizer. Pernahkah Anda temui seminar tentang "Apa Yang Telah Anda Berikan Sebelum Anda Dipanggil Sang Khalik?" penuh sesak disemuti orang-orang berdasi. Kalaupun ada, mungkin hanya kaum sufi dan mereka yang sengaja memencilkan diri di hutan dan gunung, berminat akan seminar gila itu.
Pernah seorang sahabat memberikan nasehat aneh sebagai berikut. Jika suatu saat jabatan Anda direncanakan naik lebih tinggi, atau perusahaan Anda sedang berkembang sangat pesat, atau ada wanita cantik milik orang lain yang menggoda, pergilah ke kuburan. Ia menyarankan kita duduk berlama-lama di sebuah makam yang tidak kita kenal, bahkan jika Anda punya cukup nyali, tidur beberapa menit diantara makam yang berbaris rapi. Sebuah nasehat yang kurang waras tentunya. Tetapi ada sebuah logika yang cukup kuat didalamnya.
Maksudnya begini, 'ziarah' seringkali sangat ampuh membuat kita akan segera ingat tentang mereka yang ada dulu pernah ada di puncak, bahwa mereka itu semua berakhir sebagai tulang belulang diperut bumi. Ziarah serta merta akan efektif membuat Anda ingat akan 'bab terakhir'.
Pernah ada sebuah kalimat dari seorang bijak berkata demikian, "Beritahulah aku umurku, supaya aku tahu betapa fananya aku". Rupanya memang kita ini para manusia yang hebat, brilian, gagah, tampan, cantik, sexy, sekaligus pelupa ini harus sering-sering diingatkan akan bab terakhir hidup kita. Bab yang mengajarkan kita tentang siapa Pemilik Sejati dari segalanya. Bab yang mengajarkan bagaimana meninggalkan tinta emas pada perjalanan kita yang sebentar dimuka bumi ini. Lampiran-lampiran terakhir yang memberikan peta yang jelas tentang jalan pulang ke rumah. Bagian yang sering kali kita lupakan. Mungkin dengan demikian jiwa kita akan selalu dipenuhi dengan kerendahan hati, kasih dan syukur. Jika demikian sepertinya frekuensi nonton bola bareng, kongkow-kongkow dicafé atau pergi ke dugem, harus sedikit dikurangi.
Mengapa ? Karena tempat-tempat diatas seringkali membuat kita lupa akan bab terakhir. Penggantinya adalah 'wisata lubang kubur' atau mungkin sekedar berperan serta sebagai penghantar dalam sebuah upacara pemakaman. Kegiatan ini cukup efektif untuk mengingatkan kita bahwa tidak ada skenario 'aku ingin hidup seribu tahun lagi' dalam hidup ini. Apalagi cepat atau lambat, siap atau tidak siap, kita bukan lagi sebagai pengantar, tetapi merekalah yang mengantarkan Anda dan saya ke sana. Percayalah itu pasti terjadi.
Persoalannya, jika itu terjadi satu jam dari sekarang, apakah kita sudah siap ?
Jawaban atas pertanyaan itu tentu melibatkan banyak hal. Seberapa indah jejak kita. Seberapa besar manfaat yang kita tinggalkan. Seberapa banyak jalan bengkok yang telah kita luruskan....dan seterusnya dan seterusnya.
Jika tulisan-tulisan ini lebih tampak sebagai sesuatu yang 'menakut-nakuti' atau sesuatu yang melemahkan semangat Anda, saya pribadi mohon maaf. Karena saya pribadipun -kalau mau jujur- takut juga. Tetapi
bukankah seharusnya bab terakhir itulah, yang membuat kita lebih termotivasi lagi, untuk meninggalkan tinta emas pada jejak langkah kita. *
Wallahualam bishawab*.
*By MTA – Made Teddy Artiana
Selanjutnya tentang ambisi atau tambah istri. Bab kesebelas tentang entrepreneurship, lalu tentang tips mendatangkan uang dan kesuksesan. Tetapi bab terakhir, bertuliskan 'kematian', jarang dilirik. Kurang peminat. Mungkin karena bab pertama hingga bab kesekian selalu berbicara tentang 'aku' meskipun kadang diselubungi hal-hal yang tampak mulia, tetapi bab terakhir–bab penutup- berbicara tegas penuh otoritas tentang 'DIA', produser sekaligus sutradara hidup ini.
Begitu banyak mailing list tentang kesuksesan dan entrepreneur, tetapi milist tentang 'kematian', memang bukan ide yang akan mendatangkan uang bagi kita. Belum pernah ada seminar tentang "Seberapa Siap Anda Untuk Meninggal Dunia ?" diproklamirkan oleh sebuah event organizer. Pernahkah Anda temui seminar tentang "Apa Yang Telah Anda Berikan Sebelum Anda Dipanggil Sang Khalik?" penuh sesak disemuti orang-orang berdasi. Kalaupun ada, mungkin hanya kaum sufi dan mereka yang sengaja memencilkan diri di hutan dan gunung, berminat akan seminar gila itu.
Pernah seorang sahabat memberikan nasehat aneh sebagai berikut. Jika suatu saat jabatan Anda direncanakan naik lebih tinggi, atau perusahaan Anda sedang berkembang sangat pesat, atau ada wanita cantik milik orang lain yang menggoda, pergilah ke kuburan. Ia menyarankan kita duduk berlama-lama di sebuah makam yang tidak kita kenal, bahkan jika Anda punya cukup nyali, tidur beberapa menit diantara makam yang berbaris rapi. Sebuah nasehat yang kurang waras tentunya. Tetapi ada sebuah logika yang cukup kuat didalamnya.
Maksudnya begini, 'ziarah' seringkali sangat ampuh membuat kita akan segera ingat tentang mereka yang ada dulu pernah ada di puncak, bahwa mereka itu semua berakhir sebagai tulang belulang diperut bumi. Ziarah serta merta akan efektif membuat Anda ingat akan 'bab terakhir'.
Pernah ada sebuah kalimat dari seorang bijak berkata demikian, "Beritahulah aku umurku, supaya aku tahu betapa fananya aku". Rupanya memang kita ini para manusia yang hebat, brilian, gagah, tampan, cantik, sexy, sekaligus pelupa ini harus sering-sering diingatkan akan bab terakhir hidup kita. Bab yang mengajarkan kita tentang siapa Pemilik Sejati dari segalanya. Bab yang mengajarkan bagaimana meninggalkan tinta emas pada perjalanan kita yang sebentar dimuka bumi ini. Lampiran-lampiran terakhir yang memberikan peta yang jelas tentang jalan pulang ke rumah. Bagian yang sering kali kita lupakan. Mungkin dengan demikian jiwa kita akan selalu dipenuhi dengan kerendahan hati, kasih dan syukur. Jika demikian sepertinya frekuensi nonton bola bareng, kongkow-kongkow dicafé atau pergi ke dugem, harus sedikit dikurangi.
Mengapa ? Karena tempat-tempat diatas seringkali membuat kita lupa akan bab terakhir. Penggantinya adalah 'wisata lubang kubur' atau mungkin sekedar berperan serta sebagai penghantar dalam sebuah upacara pemakaman. Kegiatan ini cukup efektif untuk mengingatkan kita bahwa tidak ada skenario 'aku ingin hidup seribu tahun lagi' dalam hidup ini. Apalagi cepat atau lambat, siap atau tidak siap, kita bukan lagi sebagai pengantar, tetapi merekalah yang mengantarkan Anda dan saya ke sana. Percayalah itu pasti terjadi.
Persoalannya, jika itu terjadi satu jam dari sekarang, apakah kita sudah siap ?
Jawaban atas pertanyaan itu tentu melibatkan banyak hal. Seberapa indah jejak kita. Seberapa besar manfaat yang kita tinggalkan. Seberapa banyak jalan bengkok yang telah kita luruskan....dan seterusnya dan seterusnya.
Jika tulisan-tulisan ini lebih tampak sebagai sesuatu yang 'menakut-nakuti' atau sesuatu yang melemahkan semangat Anda, saya pribadi mohon maaf. Karena saya pribadipun -kalau mau jujur- takut juga. Tetapi
bukankah seharusnya bab terakhir itulah, yang membuat kita lebih termotivasi lagi, untuk meninggalkan tinta emas pada jejak langkah kita. *
Wallahualam bishawab*.
*By MTA – Made Teddy Artiana
Minggu, 11 Desember 2011
Ketika Tangan dan Kaki Bersaksi
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan bersaksilah kaki mereka terhadap apa yang dahulu telah mereka kerjakan”. (Qs.Yasin: 65)
Saksi selanjutnya adalah anggota tubuh sendiri. Diantara para saksi, bisa jadi kesaksian yang diberikan anggota tubuh sendirilah yang paling dramatis sekaligus menyakitkan. Semasa di dunia, anggota tubuh sepenuhnya taat pada majikannya. Ia dikendalikan sepenuhnya, untuk memegang, berjalan dan beraktivitas. Tanpa kita sadari mereka seolah-olah, teman yang sangat loyal dan setia. Namun di padang Masyhar, ketika manusia diperhadapkan di pengadilan Ilahi yang Maha Dahsyat, anggota tubuh kita malah membeberkan aib-aib dan kesalahan kita secara terang-terangan dan terbuka. Tangan yang selama ini menjadi sahabat terdekat, yang membantu terpenuhinya segala hasrat dan keinginan, yang membuat kita mampu menggenggam dan meraih segala impian dan cita-cita, atas kehendak Allah membeberkan tentang kekejian, kebohongan, pengkhianatan, kejahatan dan kemunafikan. Tidak ada yang luput dan meleset sedikitpun. Kaki yang dahulunya loyal dan setia dilangkahkan kemana saja, berkonspirasi untuk mengumbar kejahatan-kejahatan apa saja yang telah dilakukannya.
Allah SWT berfirman, “Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar lagi yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).” (Qs. An-Nur: 24-25).
Setiap anggota tubuh memberikan kesaksiannya atas amal-amal kita di dunia. Mata akan bersaksi atas apa yang dilihatnya, telinga bersaksi atas apa yang telah didengarnya, tangan berkisah tentang apa saja yang telah digenggam dan disentuhnya, kakipun menuturkan kembali riwayat perjalanannya layaknya reportase jurnalistik saking mendetailnya. Namun ada perlunya juga kita mengajukan pertanyaan, apa hikmahnya Allah memerintahkan kepada seluruh anggota tubuh untuk turut memberikan kesaksian?. Apakah saksi-saksi sebelumnya belumlah cukup?. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (Qs. Al-Kahfi: 54), di antara hikmahnya, kalau manusia masih bisa berkelit dan membantah kesaksian-kesaksian yang telah diberikan sebelumnya, namun dengan kuasaNya, anggota tubuh tidak bisa mengingkari berbagai hal yang telah dilakukannya, mereka akan menceritakannya sedetail-detailnya. Ditutup atau dikuncinya mulut, bukan berarti mulut terhalangi dari memberi kesaksian, melainkan maksudnya, mulut berbicara bukan lagi atas kehendak pemilik sebelumnya, semuanya telah kembali kepada Allah dan dengan izin-Nya, mulut dan lidahpun diperkenankan memberikan kesaksiannya.
Lidah, tangan dan kaki pada hari itu menjadi saksi-saksi nyata yang tak terbantahkan lagi, mengingat kebersamaannya selama di dunia dalam kehidupan manusia. Bersama lidah, tangan dan kaki, kebajikan-kebajikan ditunaikan, bersamanya pula, kemaksiatan diselenggarakan. Bersamanya, pengabdian maupun pengkhianatan, kesetiaan maupun perselingkuhan berjalan saling tumpang tindih dan berebut pengaruh. Manusia bisa saja membantah dan mengelak dari catatan amalnya, namun tidak kuasa lagi membantah, ketika anggota tubuhnya sendiri yang memberi kesaksian. Maka yang ada tinggal kepasrahan menanti nasib, tidak ada lagi daya dan upaya selain keputus asaan, karena persaksian telah menjadi kuat dan pembuktian sudah menjadi akurat.
“Dan (ingatlah) hari (ketika) para musuh Allah digiring ke dalam neraka lalu mereka dikumpulkan (semuanya). Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab, “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. Kamu senantiasa menyembunyikan dosa-dosamu bukan sekali-kali lantaran kamu takut terhadap persaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu terhadapmu, tetapi karena kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan ini adalah prasangka jelek yang kamu miliki sangka terhadap Tuhan-mu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Qs. Fushilat: 19-23).
Yang tersisa hanyalah sebuah protes yang tak berarti, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?”
Allah SWT menjawab, “ …agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah..”(Qs. An-Nisa: 165).
Saksi selanjutnya adalah anggota tubuh sendiri. Diantara para saksi, bisa jadi kesaksian yang diberikan anggota tubuh sendirilah yang paling dramatis sekaligus menyakitkan. Semasa di dunia, anggota tubuh sepenuhnya taat pada majikannya. Ia dikendalikan sepenuhnya, untuk memegang, berjalan dan beraktivitas. Tanpa kita sadari mereka seolah-olah, teman yang sangat loyal dan setia. Namun di padang Masyhar, ketika manusia diperhadapkan di pengadilan Ilahi yang Maha Dahsyat, anggota tubuh kita malah membeberkan aib-aib dan kesalahan kita secara terang-terangan dan terbuka. Tangan yang selama ini menjadi sahabat terdekat, yang membantu terpenuhinya segala hasrat dan keinginan, yang membuat kita mampu menggenggam dan meraih segala impian dan cita-cita, atas kehendak Allah membeberkan tentang kekejian, kebohongan, pengkhianatan, kejahatan dan kemunafikan. Tidak ada yang luput dan meleset sedikitpun. Kaki yang dahulunya loyal dan setia dilangkahkan kemana saja, berkonspirasi untuk mengumbar kejahatan-kejahatan apa saja yang telah dilakukannya.
Allah SWT berfirman, “Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar lagi yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).” (Qs. An-Nur: 24-25).
Setiap anggota tubuh memberikan kesaksiannya atas amal-amal kita di dunia. Mata akan bersaksi atas apa yang dilihatnya, telinga bersaksi atas apa yang telah didengarnya, tangan berkisah tentang apa saja yang telah digenggam dan disentuhnya, kakipun menuturkan kembali riwayat perjalanannya layaknya reportase jurnalistik saking mendetailnya. Namun ada perlunya juga kita mengajukan pertanyaan, apa hikmahnya Allah memerintahkan kepada seluruh anggota tubuh untuk turut memberikan kesaksian?. Apakah saksi-saksi sebelumnya belumlah cukup?. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (Qs. Al-Kahfi: 54), di antara hikmahnya, kalau manusia masih bisa berkelit dan membantah kesaksian-kesaksian yang telah diberikan sebelumnya, namun dengan kuasaNya, anggota tubuh tidak bisa mengingkari berbagai hal yang telah dilakukannya, mereka akan menceritakannya sedetail-detailnya. Ditutup atau dikuncinya mulut, bukan berarti mulut terhalangi dari memberi kesaksian, melainkan maksudnya, mulut berbicara bukan lagi atas kehendak pemilik sebelumnya, semuanya telah kembali kepada Allah dan dengan izin-Nya, mulut dan lidahpun diperkenankan memberikan kesaksiannya.
Lidah, tangan dan kaki pada hari itu menjadi saksi-saksi nyata yang tak terbantahkan lagi, mengingat kebersamaannya selama di dunia dalam kehidupan manusia. Bersama lidah, tangan dan kaki, kebajikan-kebajikan ditunaikan, bersamanya pula, kemaksiatan diselenggarakan. Bersamanya, pengabdian maupun pengkhianatan, kesetiaan maupun perselingkuhan berjalan saling tumpang tindih dan berebut pengaruh. Manusia bisa saja membantah dan mengelak dari catatan amalnya, namun tidak kuasa lagi membantah, ketika anggota tubuhnya sendiri yang memberi kesaksian. Maka yang ada tinggal kepasrahan menanti nasib, tidak ada lagi daya dan upaya selain keputus asaan, karena persaksian telah menjadi kuat dan pembuktian sudah menjadi akurat.
“Dan (ingatlah) hari (ketika) para musuh Allah digiring ke dalam neraka lalu mereka dikumpulkan (semuanya). Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab, “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. Kamu senantiasa menyembunyikan dosa-dosamu bukan sekali-kali lantaran kamu takut terhadap persaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu terhadapmu, tetapi karena kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan ini adalah prasangka jelek yang kamu miliki sangka terhadap Tuhan-mu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Qs. Fushilat: 19-23).
Yang tersisa hanyalah sebuah protes yang tak berarti, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?”
Allah SWT menjawab, “ …agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah..”(Qs. An-Nisa: 165).
Senin, 28 November 2011
KEIKHLASAN YANG MULIA
Ada sebuah cerita menarik dan mudahan bisa menginspirasi kita, mari kita baca..
Cuaca hari ini sangat sangat panas. Mbah sarno terus mengayuh sepeda tuanya menyisir jalan perumahan condong catur demi menyambung hidup. Mbah sarno sudah puluhan tahun berprofesi sebagai tukang sol sepatu keliling. Jika orang lain mungkin berfikir “mau nonton apa saya malam ini?”, mbah sarno cuma bisa berfikir “saya bisa makan atau nggak malam ini?”
di tengah cuaca panas seperti ini pun terasa sangat sulit baginya untuk mendapatkan pelanggan. Bagi mbah sarno, setiap hari adalah hari kerja. Dimana ada peluang untuk menghasilkan rupiah, disitu dia akan terus berusaha. Hebatnya, beliau adalah orang yang sangat jujur. Meskipun miskin, tak pernah sekalipun ia mengambil hak orang lain.
Jam 11, saat tiba di depan sebuah rumah mewah di ujung gang, diapun akhirnya mendapat pelanggan pertamanya hari ini. Seorang pemuda usia 20 tahunan, terlihat sangat terburu-buru.
Ketika mbah sarno menampal sepatunya yang bolong, ia terus menerus melihat jam. Karena pekerjaan ini sudah digelutinya bertahun-tahun, dalam waktu singkat pun ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya.
“wah cepat sekali. Berapa pak?”
“5000 rupiah mas”
sang pemuda pun mengeluarkan uang seratus ribuan dari dompetnya. Mbah sarno jelas kaget dan tentu ia tidak punya uang kembalian sama sekali apalagi sang pemuda ini adalah pelanggan pertamanya hari ini.
“wah mas gak ada uang pas ya?”
“nggak ada pak, uang saya tinggal selembar ini, belum dipecah pak”
“maaf mas, saya nggak punya uang kembalian”
“waduh repot juga kalo gitu. Ya sudah saya cari dulu sebentar pak ke warung depan”
“udah mas nggak usah repot-repot. Mas bawa dulu saja. Saya perhatikan mas lagi buru-buru. Lain waktu saja mas kalau kita ketemu lagi.”
“oh syukurlah kalo gitu. Ya sudah makasih ya pak.”
jam demi jam berlalu dan tampaknya ini hari yang tidak menguntungkan bagi mbah sarno. Dia cuma mendapatkan 1 pelanggan dan itupun belum membayar. Ia terus menanamkan dalam hatinya, “ikhlas. Insya allah akan dapat gantinya.”
ketika waktu menunjukkan pukul 3 lebih ia pun menyempatkan diri shalat ashar di masjid depan lapangan bola sekolah. Selesai shalat ia berdoa.
“Ya Allah, izinkan aku mencicipi secuil rezekimu hari ini. Hari ini aku akan terus berusaha, selebihnya adalah kehendakmu.”
selesai berdoa panjang, ia pun bangkit untuk melanjutkan pekerjaannya.
Ketika ia akan menuju sepedanya, ia kaget karena pemuda yang tadi siang menjadi pelanggannya telah menunggu di samping sepedanya.
“wah kebetulan kita ketemu disini, pak. Ini bayaran yang tadi siang pak.”
kali ini pemuda tadi tetap mengeluarkan uang seratus ribuan. Tidak hanya selembar, tapi 5 lembar.
“loh loh mas? Ini mas belum mecahin uang ya? Maaf mas saya masih belum punya kembalian. Ini juga kok 5 lembar mas. Ini nggak salah ngambil mas?”
“sudah pak, terima saja. Kembaliannya, sudah saya terima tadi, pak. Hari ini saya tes wawancara. Telat 5 menit saja saya sudah gagal pak. Untung bapak membiarkan saya pergi dulu. Insya allah minggu depan saya berangkat ke prancis pak. Saya mohon doanya pak”
“tapi ini terlalu banyak mas”
“saya bayar sol sepatu cuma rp 5000 pak. Sisanya untuk membayar kesuksesan saya hari ini dan keikhlasan bapak hari ini.”
Cuaca hari ini sangat sangat panas. Mbah sarno terus mengayuh sepeda tuanya menyisir jalan perumahan condong catur demi menyambung hidup. Mbah sarno sudah puluhan tahun berprofesi sebagai tukang sol sepatu keliling. Jika orang lain mungkin berfikir “mau nonton apa saya malam ini?”, mbah sarno cuma bisa berfikir “saya bisa makan atau nggak malam ini?”
di tengah cuaca panas seperti ini pun terasa sangat sulit baginya untuk mendapatkan pelanggan. Bagi mbah sarno, setiap hari adalah hari kerja. Dimana ada peluang untuk menghasilkan rupiah, disitu dia akan terus berusaha. Hebatnya, beliau adalah orang yang sangat jujur. Meskipun miskin, tak pernah sekalipun ia mengambil hak orang lain.
Jam 11, saat tiba di depan sebuah rumah mewah di ujung gang, diapun akhirnya mendapat pelanggan pertamanya hari ini. Seorang pemuda usia 20 tahunan, terlihat sangat terburu-buru.
Ketika mbah sarno menampal sepatunya yang bolong, ia terus menerus melihat jam. Karena pekerjaan ini sudah digelutinya bertahun-tahun, dalam waktu singkat pun ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya.
“wah cepat sekali. Berapa pak?”
“5000 rupiah mas”
sang pemuda pun mengeluarkan uang seratus ribuan dari dompetnya. Mbah sarno jelas kaget dan tentu ia tidak punya uang kembalian sama sekali apalagi sang pemuda ini adalah pelanggan pertamanya hari ini.
“wah mas gak ada uang pas ya?”
“nggak ada pak, uang saya tinggal selembar ini, belum dipecah pak”
“maaf mas, saya nggak punya uang kembalian”
“waduh repot juga kalo gitu. Ya sudah saya cari dulu sebentar pak ke warung depan”
“udah mas nggak usah repot-repot. Mas bawa dulu saja. Saya perhatikan mas lagi buru-buru. Lain waktu saja mas kalau kita ketemu lagi.”
“oh syukurlah kalo gitu. Ya sudah makasih ya pak.”
jam demi jam berlalu dan tampaknya ini hari yang tidak menguntungkan bagi mbah sarno. Dia cuma mendapatkan 1 pelanggan dan itupun belum membayar. Ia terus menanamkan dalam hatinya, “ikhlas. Insya allah akan dapat gantinya.”
ketika waktu menunjukkan pukul 3 lebih ia pun menyempatkan diri shalat ashar di masjid depan lapangan bola sekolah. Selesai shalat ia berdoa.
“Ya Allah, izinkan aku mencicipi secuil rezekimu hari ini. Hari ini aku akan terus berusaha, selebihnya adalah kehendakmu.”
selesai berdoa panjang, ia pun bangkit untuk melanjutkan pekerjaannya.
Ketika ia akan menuju sepedanya, ia kaget karena pemuda yang tadi siang menjadi pelanggannya telah menunggu di samping sepedanya.
“wah kebetulan kita ketemu disini, pak. Ini bayaran yang tadi siang pak.”
kali ini pemuda tadi tetap mengeluarkan uang seratus ribuan. Tidak hanya selembar, tapi 5 lembar.
“loh loh mas? Ini mas belum mecahin uang ya? Maaf mas saya masih belum punya kembalian. Ini juga kok 5 lembar mas. Ini nggak salah ngambil mas?”
“sudah pak, terima saja. Kembaliannya, sudah saya terima tadi, pak. Hari ini saya tes wawancara. Telat 5 menit saja saya sudah gagal pak. Untung bapak membiarkan saya pergi dulu. Insya allah minggu depan saya berangkat ke prancis pak. Saya mohon doanya pak”
“tapi ini terlalu banyak mas”
“saya bayar sol sepatu cuma rp 5000 pak. Sisanya untuk membayar kesuksesan saya hari ini dan keikhlasan bapak hari ini.”
Selasa, 08 November 2011
Kisah Sedekah ( Yusuf Mansur vs Security Pom Bensin)
YUSUF MANSUR VS SECURITY POM BENSIN
(KEAJAIBAN SEDEKAH)
Banyak yang mau berubah,
tapi memilih jalan mundur.
Andakah orangnya?
Satu hari saya jalan melintas di satu daerah.. Tetidur di dalam mobil. Saat terbangun, ada tanda pom bensin sebentar lagi. Saya pesen ke supir saya: “Nanti di depan ke kiri ya”.
“Masih banyak, Pak Ustadz”. Saya paham. Supir saya mengira saya pengen beli bensin. Padahal bukan. Saya pengen pipis. Begitu berhenti dan keluar dari mobil, ada seorang sekuriti. “PakUstadz!”.
Dari jauh ia melambai dan mendekati saya. Saya menghentikan langkah. Menunggu beliau.
“Pak Ustadz, alhamdulillah nih bisa ketemu Pak Ustadz. Biasanya kan hanya melihat di TV saja…”. Saya senyum aja. Ga ke-geeran, insya Allah, he he he.
“Saya ke toilet dulu ya”.
“Nanti saya pengen ngobrol boleh Ustadz?”
“Saya buru-buru loh. Tentang apaan sih?”
“Saya bosen jadi satpam Pak Ustadz”.
Sejurus kemudian saya sadar, ini Allah pasti yang “berhentiin” saya. Lagi enak-enak tidur di perjalanan, saya terbangun pengen pipis. Eh nemu pom bensin. Akhirnya ketemu security ini. Berarti barangkali saya kudu bicara dengan dia. Security ini barangkali “target operasi” dakwah hari ini. Bukan jadwal setelah ini. Begitu pikir saya. Saya katakan pada security yang mulia ini, “Ok, ntar habis dari toilet ya”.
***
“Jadi, bagaimana? Bosen jadi satpam? Emangnya ga gajian?”, tanya saya membuka percakapan. Saya mencari warung kopi, untuk bicara-bicara dengan beliau ini. Alhamdulillah ini pom bensin bagus banget. Ada minimart nya yang dilengkapi fasilitas ngopi-ngopi ringan.
“Gaji mah ada Ustadz. Tapi masa gini-gini aja?”
“Gini-gini aja itu, kalo ibadahnya gitu-gitu aja, ya emang udah begitu. Di stel kayak apa juga, agak susah buat ngerubahnya”.
“Wah, ustadz langsung nembak aja nih”.
Saya meminta maaf kepada security ini umpama ada perkataan saya yang salah. Tapi umumnya begitu lah manusia. Rizki mah mau banyak, tapi sama Allah ga mau mendekat. Rizki mah mau nambah, tapi ibadah dari dulu ya begitu-begitu saja.
“Udah shalat ashar?”
“Barusan Pak Ustadz. Soalnya kita kan tugas. Tugas juga kan ibadah, iya ga? Ya saya pikir sama saja”.
“Oh, jadi ga apa-apa telat ya? Karena situ pikir kerja situ adalah ibadah?”
Security itu senyum aja.
Disebut jujur mengatakan itu, bisa ya bisa tidak. Artinya, security itu bisa benar-benar menganggap kerjaannya ibadah, tapi bisa juga ga. Cuma sebatas omongan doangan. Lagian, kalo nganggap kerjaan-kerjaan kita ibadah, apa yang kita lakukan di dunia ini juga ibadah, kalau kita niatkan sebagai ibadah. Tapi, itu ada syaratnya. Apa syaratnya? Yakni kalau ibadah wajibnya, tetap nomor satu. Kalau ibadah wajibnya nomor tujuh belas, ya disebut bohong dah tuh kerjaan adalah ibadah. Misalnya lagi, kita niatkan usaha kita sebagai ibadah, boleh ga? Bagus malah. Bukan hanya boleh. Tapi kemudian kita menerima tamu sementara Allah datang. Artinya kita menerima tamu pas waktu shalat datang, dan kemudian kita abaikan shalat, kita abaikan Allah, maka yang demikian masihkah pantas disebut usaha kita adalah ibadah? Apalagi kalau kemudian hasil kerjaan dan hasil usaha, buat Allah nya lebih sedikit ketimbang buat kebutuhan-kebutuhan kita. Kayaknya perlu dipikirin lagi tuh sebutan-sebutan ibadah.
“Disebut barusan itu maksudnya jam setengah limaan ya? Saya kan baru jam 5 nih masuk ke pom bensin ini”, saya mengejar.
“Ya, kurang lebih dah”.
Saya mengingat diri saya dulu yang dikoreksi oleh seorang faqih, seorang ‘alim, bahwa shalat itu kudu tepat waktu. Di awal waktu. Tiada disebut perhatian sama Yang Memberi Rizki bila shalatnya tidak tepat waktu. Aqimish shalaata lidzikrii, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. Lalu, kita bersantai-santai dalam mendirikan shalat. Entar-entaran. Itu kan jadi sama saja dengan mengentar-entarkan mengingat Allah. Maka lalu saya ingatkan security yang entahlah saya merasa he is the man yang Allah sedang berkenan mengubahnya dengan mempertemukan dia dengan saya.
“Gini ya Kang. Kalo situ shalatnya jam setengah lima, memang untuk mengejar ketertinggalan dunia saja, jauh tuh. Butuh perjalanan satu setengah jam andai ashar ini kayak sekarang, jam tiga kurang dikit. Bila dalam sehari semalam kita shalat telat terus, dan kemudian dikalikan sejak akil baligh, sejak diwajibkan shalat, kita telat terus, maka berapa jarak ketertinggalan kita tuh? 5x satu setengah jam, lalu dikali sekian hari dalam sebulan, dan sekian bulan dalam setahun, dan dikali lagi sekian tahun kita telat. Itu baru telat saja, belum kalo ketinggalan atau kelupaan, atau yang lebih bahayanya lagi kalau bener-benar lewat tuh shalat? Wuah, makin jauh saja mestinya kita dari senang”.
Saudara-saudaraku Peserta KuliahOnline, percakapan ini kurang lebih begitu.Mudah-mudahan sekuriti ini paham apa yang saya omongin. Dari raut mukanya nampaknya ia paham. Mudah-mudahan demikian juga saudara-saudara ya? He he he. Belagu ya saya? Masa omongan cetek begini kudu nanya paham apa engga sama lawan bicara?
Kembali kepada si sekuriti, saya tanya, “Terus, mau berubah?”
“Mau Pak Ustadz. Ngapain juga coba saya kejar Pak Ustadz nih, kalo ga
serius?”
“Ya udah, deketin Allah dah. Ngebut ke Allah nya”.
“Ngebut gimana?”
“Satu, benahin shalatnya. Jangan setengah lima-an lagi shalat asharnya. Pantangan telat. Buru tuh rizki dengan kita yang datang menjemput Allah. Jangan sampe keduluan Allah”.
Si security mengaku mengerti, bahwa maksudnya, sebelum azan udah standby di atas sajadah. Kita ini pengen rizkinya Allah, tapi ga kenal sama Yang Bagi-bagiin rizki. Contohnya ya pekerja-pekerja di tanah air ini.. Kan aneh. Dia pada kerja supaya dapat gaji. Dan gaji itu rizki. Tapi giliran Allah memanggil, sedang Allah lah Tuhan yang sejatinya menjadikan seseorang bekerja, malah kelakuannya seperti ga menghargai Allah. Nemuin klien, rapih, wangi, dan persiapannya masya Allah. Eh, giliran ketemu Allah, amit-amit pakaiannya, ga ada persiapan, dan tidak segan-segan menunjukkan wajah dan fisik lelahnya. Ini namanya ga kenal sama Allah.
“Yang kedua,” saya teruskan. “Yang kedua, keluarin sedekahnya”.
Saya inget betul. Security itu tertawa.
“Pak Ustadz, bagaimana mau sedekah, hari gini aja nih, udah pada habis belanjaan. Hutang di warung juga terpaksa dibuka lagi,. Alias udah mulai ngambil dulu bayar belakangan”.
“Ah, ente nya aja kali yang kebanyakan beban. Emang gajinya berapa?”
“Satu koma tujuh, Pak ustadz”.
“Wuah, itu mah gede banget. Maaf ya, untuk ukuran security, yang orang sering sebut orang kecil, itu udah gede”.
“Yah, kan kudu bayar motor, bayar kontrakan, bayar susu anak, bayar ini bayar itu. Emang ga cukup Pak ustadz”.
“Itu kerja bisa gede, emang udah lama kerjanya?”
“Kerjanya sih udah tujuh taon. Tapi gede gaji bukan karena udah lama kerjanya. Saya ini kerjanya pagi siang sore malem, ustadz”.
“Kok bisa?”
“Ya, sebab saya tinggal di mess. Jadi dihitung sama bos pegimana gitu sampe ketemu angka 1,7jt”.
“Terus, kenapa masih kurang?”
“Ya itu, sebab saya punya tanggungan banyak”.
“Secara dunianya, lepas aja itu tanggungan. Kayak motor. Ngapain juga ente kredit motor? Kan ga perlu?”
“Pengen kayak orang-orang Pak Ustadz”.
“Ya susah kalo begitu mah. Pengen kayak orang-orang, motornya. Bukan ilmu dan ibadahnya. Bukan cara dan kebaikannya. Repot”.
Security ini nyengir. Emang ini motor kalo dilepas, dia punya 900 ribu. Rupanya angsuran motornya itu 900 ribu. Ga jelas tuh darimana dia nutupin kebutuhan dia yang lain. Kontrakan saja sudah 450 ribu sama air dan listrik. Kalo ngelihat keuangan model begini, ya nombok dah jadinya.
“Ya udah, udah keterlanjuran ya? Ok. Shalatnya gimana? Mau diubah?”
“Mau Ustadz. Saya benahin dah”.
“Bareng sama istri ya. Ajak dia. Jangan sendirian. Ibarat sendal, lakukan berdua. Makin cakep kalo anak-anak juga dikerahin.. Ikutan semuanya ngebenahin shalat”.
“Siap ustadz”.
“Tapi sedekahnya tetap kudu loh”.
“Yah Ustadz. Kan saya udah bilang, ga ada”.
“Sedekahin aja motornya. Kalo engga apa kek”.
“Jangan Ustadz. Saya sayang-sayang ini motor. Susah lagi belinya. Tabungan juga ga ada. Emas juga ga punya”.
Security ini berpikir, saya kehabisan akal untuk nembak dia. Tapi saya akan cari terus. Sebab tanggung. Kalo dia hanya betulin shalatnya saja, tapi sedekahnya tetap ga keluar, lama keajaiban itu akan muncul. Setidaknya menurut ilmu yang saya dapat. Kecuali Allah berkehendak lain. Ya lain soal itu mah. Sebentar kemudian saya bilang sama ini security, “Kang, kalo saya unjukin bahwa situ bisa sedekah, yang besar lagi sedekahnya, situ mau percaya?”. Si security mengangguk. “Ok, kalo sudah saya tunjukkan, mau ngejalanin?”.
Security ini ngangguk lagi. “Selama saya bisa, saya akan jalanin,” katanya, manteb.
“Gajian bulan depan masih ada ga?”
“Masih. Kan belum bisa diambil?”
“Bisa. Dicoba dulu”.
“Entar bulan depan saya hidup bagaimana?”
“Yakin ga sama Allah?”
“Yakin”.
“Ya kalo yakin, titik. Jangan koma. Jangan pake kalau”.
Security ini saya bimbing untuk kasbon. Untuk sedekah. Sedapetnya. Tapi usahakan semua. Supaya bisa signifikan besaran sedekahnya. Sehingga perubahannya berasa. Dia janji akan ngebenahin mati-matian shalatnya. Termasuk dia akan polin shalat taubatnya, shalat hajatnya, shalat dhuha dan tahajjudnya. Dia juga janji akan rajinin di waktu senggang untuk baca al Qur’an. Perasaan udah lama banget dia emang ga lari kepada Allah. Shalat Jum’at aja nunggu komat, sebab dia security. Wah, susah dah. Dan itu dia aminin. Itulah barangkali yang sudah membuat Allah mengunci mati dirinya hanya menjadi security sekian tahun, padahal dia Sarjana Akuntansi! Ya, rupanya dia ini Sarjana Akuntansi. Pantesan juga dia ga betah dengan posisinya sebagai security. Ga kena di hati. Ga sesuai sama rencana. Tapi ya begitu dah hidup.. apa boleh buat. Yang penting kerja dan ada gajinya. Bagi saya sendiri, ga mengapa punya banyak keinginan. Asal keinginan itu keinginan yang diperbolehkan, masih dalam batas-batas wajar. Dan ga apa-apa juga memimpikan sesuatu yang belom kesampaian sama kita. Asal apa? Asal kita barengin dengan peningkatan ibadah kita. Kayak sekarang ini, biarin aja harga barang pada naik. Ga usah kuatir. Ancem aja diri, agar mau menambah ibadah-ibadahnya. Jangan malah berleha-leha. Akhirnya hidup kemakan dengan tingginya harga,. Ga kebagian.
Sekuriti ini kemudian maju ke atasannya, mau kasbon. Ketika ditanya buat apa? Dia nyengir ga jawab. Tapi ketika ditanya berapa? Dia jawab, Pol. 1,7. Semuanya.
“Mana bisa?” kata komandannya.
“Ya Pak, saya kan ga pernah kasbon. Ga pernah berani. Baru ini saya berani”.
Komandannya terus mengejar, buat apa? Akhirnya mau ga mau sekuriti ini jawab dengan menceritakan pertemuannya dengan saya. Singkat cerita, security ini direkomendasikan untuk ketemu langsung sama ownernya ini pom bensin.. Katanya, kalau pake jalur formal, dapet kasbonan 30% aja belum tentu lolos cepet. Alhamdulillah, bos besarnya menyetujui. Sebab komandannya ini ikutan merayu, “Buat sedekah katanya Pak”, begitu kata komandannya.
Subhaanallaah, satu pom bensin itu menyaksikan perubahan ini. Sebab cerita si security ini sama komandannya, yang merupakan kisah pertemuannya dengan saya, menjadi kisah yang dinanti the end story nya. Termasuk dinanti oleh bos nya.
“Kita coba lihat, berubah ga tuh si sekuriti nasibnya”, begitu lah pemikiran kawan-kawannya yang tahu bahwa si security ini ingin berubah bersama Allah melalui jalan shalat dan sedekah. Hari demi hari, security ini dilihat sama kawan-kawannya rajin betul shalatnya. Tepat waktu terus. Dan lumayan istiqamah ibadah-ibadah sunnahnya. Bos nya yang mengetahui hal ini, senang. Sebab tempat kerjanya jadi barokah dengan adanya orang yang mendadak jadi saleh begini. Apalagi kenyataannya si security ga mengurangi kedisiplinan kerjaannya.. Malah tambah cerah muka nya.
Security ini mengaku dia cerah, sebab dia menunggu janjinya Allah. Dan dia tahu janji Allah pastilah datang. Begitu katanya, menantang ledekan kawan-kawannya yang pada mau ikutan rajin shalat dan sedekah, asal dengan catatan dia berhasil dulu.
Saya ketawa mendengar dan menuliskan kembali kisah ini. Bukan apa-apa, saya suka sama yang begini. Sebab insya Allah, pasti Allah tidak akan tinggal diam. Dan barangkali akan betul-betul mempercepat perubahan nasib si security. Supaya benar-benar menjadi tambahan uswatun hasanah bagi yang belum punya iman. Dan saya pun tersenyum dengan keadaan ini, sebab Allah pasti tidak akan mempermalukannya juga, sebagaimana Allah tidak akan mempermalukan si security. Suatu hari bos nya pernah berkata, “Kita lihatin nih dia. Kalo dia ga kasbon saja, berarti dia berhasil. Tapi kalo dia kasbon, maka kelihatannya dia gagal. Sebab buat apa sedekah 1 bulan gaji di depan yang diambil di muka, kalau kemudian kas bon. Percuma”. Tapi subhaanallah, sampe akhir bulan berikutnya, si sekuriti ini ga kasbon. Berhasil kah?
Tunggu dulu. Kawan-kawannya ini ga melihat motor besarnya lagi. Jadi, tidak kasbonnya dia ini, sebab kata mereka barangkali aman sebab jual motor. Bukan dari keajaiban mendekati Allah. Saatnya ngumpul dengan si bos, ditanyalah si sekuriti ini sesuatu urusan yang sesungguhnya adalah rahasia dirinya.
“Bener nih, ga kasbon? Udah akhir bulan loh. Yang lain bakalan gajian. Sedang situ kan udah diambil bulan kemaren”.
Security ini bilang tadinya sih dia udah siap-siap emang mau kasbon kalo sampe pertengahan bulan ini ga ada tanda-tanda. Tapi kemudian cerita si security ini benar-benar bikin bengong orang. Sebab apa? Sebab kata si security, pasca dia benahin shalatnya, dan dia sedekah besar yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya, yakni hidupnya di bulan depan yang dia pertaruhkan, trjadi keajaiban. Di kampung, ada transaksi tanah, yang melibatkan dirinya. Padahal dirinya ga trlibat secara fisik. Sekedar memediasi saja lewat sms ke pembeli dan penjual. Katanya, dari transaksi ini, Allah persis mengganti 10x lipat. Bahkan lebih. Dia sedekah 1,7jt gajinya. Tapi Allah mengaruniainya komisi penjualan tanah di kampungnya sebesar 17,5jt. Dan itu trjadi begitu cepat. Sampe-sampe bulan kemaren juga belum selesai. Masih tanggalan bulan kemaren, belum berganti bulan.
Kata si security, sadar kekuatannya sampe kayak gitu, akhirnya dia malu sama Allah. Motornya yang selama ini dia sayang-sayang, dia jual! Uangnya melek-melek buat sedekah. Tuh motor dia pake buat ngeberangkatin
satu-satunya ibunya yang masih hidup. Subhaanallaah kan? Itu jual motor, kurang. Sebab itu motor dijual cepat harganya ga nyampe 13 juta. Tapi dia tambahin 12 juta dari 17jt uang cash yang dia punya. Sehingga ibunya punya 25 juta. Tambahannya dari simpenan ibunya sendiri. Si security masih bercerita, bahwa dia merasa aman dengan uang 5 juta lebihan transaksi. Dan dia merasa ga perlu lagi motor. Dengan uang ini, ia
aman. Ga perlu kasbon. Mendadak si bos itu yang kagum. Dia lalu kumpulin semua karyawannya, dan
menyuruh si security ini bercerita tentang keberkahan yang dilaluinya selama 1 bulan setengah ini.
Apakah cukup sampe di situ perubahan yang trjadi pada diri si security? Engga. Si security ini kemudian diketahui oleh owner pom bensin tersebut sebagai sarjana S1 Akuntansi. Lalu dia dimutasi di perusahaan si owner yang lain, dan dijadikan staff keuangan di sana. Masya Allah, masya Allah, masya Allah. Berubah, berubah, berubah.
Saudara-saudaraku sekalian.. Cerita ini bukan sekedar cerita tentang Keajaiban Sedekah dan Shalat saja. Tapi soal tauhid. soal keyakinan dan iman seseorang kepada Allah, Tuhannya. Tauhid, keyakinan, dan imannya ini bekerja menggerakkan dia hingga mampu berbuat sesuatu. Tauhid yang menggerakkan!
Begitu saya mengistilahkan. Security ini mengenal Allah. Dan dia baru sedikit mengenal Allah. Tapi lihatlah, ilmu yang sedikit ini dipake sama dia, dan diyakini. Akhirnya? Jadi! Bekerja penuh buat perubahan dirinya, buat perubahan hidupnya. Subhaanallaah, masya Allah.
(KEAJAIBAN SEDEKAH)
Banyak yang mau berubah,
tapi memilih jalan mundur.
Andakah orangnya?
Satu hari saya jalan melintas di satu daerah.. Tetidur di dalam mobil. Saat terbangun, ada tanda pom bensin sebentar lagi. Saya pesen ke supir saya: “Nanti di depan ke kiri ya”.
“Masih banyak, Pak Ustadz”. Saya paham. Supir saya mengira saya pengen beli bensin. Padahal bukan. Saya pengen pipis. Begitu berhenti dan keluar dari mobil, ada seorang sekuriti. “PakUstadz!”.
Dari jauh ia melambai dan mendekati saya. Saya menghentikan langkah. Menunggu beliau.
“Pak Ustadz, alhamdulillah nih bisa ketemu Pak Ustadz. Biasanya kan hanya melihat di TV saja…”. Saya senyum aja. Ga ke-geeran, insya Allah, he he he.
“Saya ke toilet dulu ya”.
“Nanti saya pengen ngobrol boleh Ustadz?”
“Saya buru-buru loh. Tentang apaan sih?”
“Saya bosen jadi satpam Pak Ustadz”.
Sejurus kemudian saya sadar, ini Allah pasti yang “berhentiin” saya. Lagi enak-enak tidur di perjalanan, saya terbangun pengen pipis. Eh nemu pom bensin. Akhirnya ketemu security ini. Berarti barangkali saya kudu bicara dengan dia. Security ini barangkali “target operasi” dakwah hari ini. Bukan jadwal setelah ini. Begitu pikir saya. Saya katakan pada security yang mulia ini, “Ok, ntar habis dari toilet ya”.
***
“Jadi, bagaimana? Bosen jadi satpam? Emangnya ga gajian?”, tanya saya membuka percakapan. Saya mencari warung kopi, untuk bicara-bicara dengan beliau ini. Alhamdulillah ini pom bensin bagus banget. Ada minimart nya yang dilengkapi fasilitas ngopi-ngopi ringan.
“Gaji mah ada Ustadz. Tapi masa gini-gini aja?”
“Gini-gini aja itu, kalo ibadahnya gitu-gitu aja, ya emang udah begitu. Di stel kayak apa juga, agak susah buat ngerubahnya”.
“Wah, ustadz langsung nembak aja nih”.
Saya meminta maaf kepada security ini umpama ada perkataan saya yang salah. Tapi umumnya begitu lah manusia. Rizki mah mau banyak, tapi sama Allah ga mau mendekat. Rizki mah mau nambah, tapi ibadah dari dulu ya begitu-begitu saja.
“Udah shalat ashar?”
“Barusan Pak Ustadz. Soalnya kita kan tugas. Tugas juga kan ibadah, iya ga? Ya saya pikir sama saja”.
“Oh, jadi ga apa-apa telat ya? Karena situ pikir kerja situ adalah ibadah?”
Security itu senyum aja.
Disebut jujur mengatakan itu, bisa ya bisa tidak. Artinya, security itu bisa benar-benar menganggap kerjaannya ibadah, tapi bisa juga ga. Cuma sebatas omongan doangan. Lagian, kalo nganggap kerjaan-kerjaan kita ibadah, apa yang kita lakukan di dunia ini juga ibadah, kalau kita niatkan sebagai ibadah. Tapi, itu ada syaratnya. Apa syaratnya? Yakni kalau ibadah wajibnya, tetap nomor satu. Kalau ibadah wajibnya nomor tujuh belas, ya disebut bohong dah tuh kerjaan adalah ibadah. Misalnya lagi, kita niatkan usaha kita sebagai ibadah, boleh ga? Bagus malah. Bukan hanya boleh. Tapi kemudian kita menerima tamu sementara Allah datang. Artinya kita menerima tamu pas waktu shalat datang, dan kemudian kita abaikan shalat, kita abaikan Allah, maka yang demikian masihkah pantas disebut usaha kita adalah ibadah? Apalagi kalau kemudian hasil kerjaan dan hasil usaha, buat Allah nya lebih sedikit ketimbang buat kebutuhan-kebutuhan kita. Kayaknya perlu dipikirin lagi tuh sebutan-sebutan ibadah.
“Disebut barusan itu maksudnya jam setengah limaan ya? Saya kan baru jam 5 nih masuk ke pom bensin ini”, saya mengejar.
“Ya, kurang lebih dah”.
Saya mengingat diri saya dulu yang dikoreksi oleh seorang faqih, seorang ‘alim, bahwa shalat itu kudu tepat waktu. Di awal waktu. Tiada disebut perhatian sama Yang Memberi Rizki bila shalatnya tidak tepat waktu. Aqimish shalaata lidzikrii, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. Lalu, kita bersantai-santai dalam mendirikan shalat. Entar-entaran. Itu kan jadi sama saja dengan mengentar-entarkan mengingat Allah. Maka lalu saya ingatkan security yang entahlah saya merasa he is the man yang Allah sedang berkenan mengubahnya dengan mempertemukan dia dengan saya.
“Gini ya Kang. Kalo situ shalatnya jam setengah lima, memang untuk mengejar ketertinggalan dunia saja, jauh tuh. Butuh perjalanan satu setengah jam andai ashar ini kayak sekarang, jam tiga kurang dikit. Bila dalam sehari semalam kita shalat telat terus, dan kemudian dikalikan sejak akil baligh, sejak diwajibkan shalat, kita telat terus, maka berapa jarak ketertinggalan kita tuh? 5x satu setengah jam, lalu dikali sekian hari dalam sebulan, dan sekian bulan dalam setahun, dan dikali lagi sekian tahun kita telat. Itu baru telat saja, belum kalo ketinggalan atau kelupaan, atau yang lebih bahayanya lagi kalau bener-benar lewat tuh shalat? Wuah, makin jauh saja mestinya kita dari senang”.
Saudara-saudaraku Peserta KuliahOnline, percakapan ini kurang lebih begitu.Mudah-mudahan sekuriti ini paham apa yang saya omongin. Dari raut mukanya nampaknya ia paham. Mudah-mudahan demikian juga saudara-saudara ya? He he he. Belagu ya saya? Masa omongan cetek begini kudu nanya paham apa engga sama lawan bicara?
Kembali kepada si sekuriti, saya tanya, “Terus, mau berubah?”
“Mau Pak Ustadz. Ngapain juga coba saya kejar Pak Ustadz nih, kalo ga
serius?”
“Ya udah, deketin Allah dah. Ngebut ke Allah nya”.
“Ngebut gimana?”
“Satu, benahin shalatnya. Jangan setengah lima-an lagi shalat asharnya. Pantangan telat. Buru tuh rizki dengan kita yang datang menjemput Allah. Jangan sampe keduluan Allah”.
Si security mengaku mengerti, bahwa maksudnya, sebelum azan udah standby di atas sajadah. Kita ini pengen rizkinya Allah, tapi ga kenal sama Yang Bagi-bagiin rizki. Contohnya ya pekerja-pekerja di tanah air ini.. Kan aneh. Dia pada kerja supaya dapat gaji. Dan gaji itu rizki. Tapi giliran Allah memanggil, sedang Allah lah Tuhan yang sejatinya menjadikan seseorang bekerja, malah kelakuannya seperti ga menghargai Allah. Nemuin klien, rapih, wangi, dan persiapannya masya Allah. Eh, giliran ketemu Allah, amit-amit pakaiannya, ga ada persiapan, dan tidak segan-segan menunjukkan wajah dan fisik lelahnya. Ini namanya ga kenal sama Allah.
“Yang kedua,” saya teruskan. “Yang kedua, keluarin sedekahnya”.
Saya inget betul. Security itu tertawa.
“Pak Ustadz, bagaimana mau sedekah, hari gini aja nih, udah pada habis belanjaan. Hutang di warung juga terpaksa dibuka lagi,. Alias udah mulai ngambil dulu bayar belakangan”.
“Ah, ente nya aja kali yang kebanyakan beban. Emang gajinya berapa?”
“Satu koma tujuh, Pak ustadz”.
“Wuah, itu mah gede banget. Maaf ya, untuk ukuran security, yang orang sering sebut orang kecil, itu udah gede”.
“Yah, kan kudu bayar motor, bayar kontrakan, bayar susu anak, bayar ini bayar itu. Emang ga cukup Pak ustadz”.
“Itu kerja bisa gede, emang udah lama kerjanya?”
“Kerjanya sih udah tujuh taon. Tapi gede gaji bukan karena udah lama kerjanya. Saya ini kerjanya pagi siang sore malem, ustadz”.
“Kok bisa?”
“Ya, sebab saya tinggal di mess. Jadi dihitung sama bos pegimana gitu sampe ketemu angka 1,7jt”.
“Terus, kenapa masih kurang?”
“Ya itu, sebab saya punya tanggungan banyak”.
“Secara dunianya, lepas aja itu tanggungan. Kayak motor. Ngapain juga ente kredit motor? Kan ga perlu?”
“Pengen kayak orang-orang Pak Ustadz”.
“Ya susah kalo begitu mah. Pengen kayak orang-orang, motornya. Bukan ilmu dan ibadahnya. Bukan cara dan kebaikannya. Repot”.
Security ini nyengir. Emang ini motor kalo dilepas, dia punya 900 ribu. Rupanya angsuran motornya itu 900 ribu. Ga jelas tuh darimana dia nutupin kebutuhan dia yang lain. Kontrakan saja sudah 450 ribu sama air dan listrik. Kalo ngelihat keuangan model begini, ya nombok dah jadinya.
“Ya udah, udah keterlanjuran ya? Ok. Shalatnya gimana? Mau diubah?”
“Mau Ustadz. Saya benahin dah”.
“Bareng sama istri ya. Ajak dia. Jangan sendirian. Ibarat sendal, lakukan berdua. Makin cakep kalo anak-anak juga dikerahin.. Ikutan semuanya ngebenahin shalat”.
“Siap ustadz”.
“Tapi sedekahnya tetap kudu loh”.
“Yah Ustadz. Kan saya udah bilang, ga ada”.
“Sedekahin aja motornya. Kalo engga apa kek”.
“Jangan Ustadz. Saya sayang-sayang ini motor. Susah lagi belinya. Tabungan juga ga ada. Emas juga ga punya”.
Security ini berpikir, saya kehabisan akal untuk nembak dia. Tapi saya akan cari terus. Sebab tanggung. Kalo dia hanya betulin shalatnya saja, tapi sedekahnya tetap ga keluar, lama keajaiban itu akan muncul. Setidaknya menurut ilmu yang saya dapat. Kecuali Allah berkehendak lain. Ya lain soal itu mah. Sebentar kemudian saya bilang sama ini security, “Kang, kalo saya unjukin bahwa situ bisa sedekah, yang besar lagi sedekahnya, situ mau percaya?”. Si security mengangguk. “Ok, kalo sudah saya tunjukkan, mau ngejalanin?”.
Security ini ngangguk lagi. “Selama saya bisa, saya akan jalanin,” katanya, manteb.
“Gajian bulan depan masih ada ga?”
“Masih. Kan belum bisa diambil?”
“Bisa. Dicoba dulu”.
“Entar bulan depan saya hidup bagaimana?”
“Yakin ga sama Allah?”
“Yakin”.
“Ya kalo yakin, titik. Jangan koma. Jangan pake kalau”.
Security ini saya bimbing untuk kasbon. Untuk sedekah. Sedapetnya. Tapi usahakan semua. Supaya bisa signifikan besaran sedekahnya. Sehingga perubahannya berasa. Dia janji akan ngebenahin mati-matian shalatnya. Termasuk dia akan polin shalat taubatnya, shalat hajatnya, shalat dhuha dan tahajjudnya. Dia juga janji akan rajinin di waktu senggang untuk baca al Qur’an. Perasaan udah lama banget dia emang ga lari kepada Allah. Shalat Jum’at aja nunggu komat, sebab dia security. Wah, susah dah. Dan itu dia aminin. Itulah barangkali yang sudah membuat Allah mengunci mati dirinya hanya menjadi security sekian tahun, padahal dia Sarjana Akuntansi! Ya, rupanya dia ini Sarjana Akuntansi. Pantesan juga dia ga betah dengan posisinya sebagai security. Ga kena di hati. Ga sesuai sama rencana. Tapi ya begitu dah hidup.. apa boleh buat. Yang penting kerja dan ada gajinya. Bagi saya sendiri, ga mengapa punya banyak keinginan. Asal keinginan itu keinginan yang diperbolehkan, masih dalam batas-batas wajar. Dan ga apa-apa juga memimpikan sesuatu yang belom kesampaian sama kita. Asal apa? Asal kita barengin dengan peningkatan ibadah kita. Kayak sekarang ini, biarin aja harga barang pada naik. Ga usah kuatir. Ancem aja diri, agar mau menambah ibadah-ibadahnya. Jangan malah berleha-leha. Akhirnya hidup kemakan dengan tingginya harga,. Ga kebagian.
Sekuriti ini kemudian maju ke atasannya, mau kasbon. Ketika ditanya buat apa? Dia nyengir ga jawab. Tapi ketika ditanya berapa? Dia jawab, Pol. 1,7. Semuanya.
“Mana bisa?” kata komandannya.
“Ya Pak, saya kan ga pernah kasbon. Ga pernah berani. Baru ini saya berani”.
Komandannya terus mengejar, buat apa? Akhirnya mau ga mau sekuriti ini jawab dengan menceritakan pertemuannya dengan saya. Singkat cerita, security ini direkomendasikan untuk ketemu langsung sama ownernya ini pom bensin.. Katanya, kalau pake jalur formal, dapet kasbonan 30% aja belum tentu lolos cepet. Alhamdulillah, bos besarnya menyetujui. Sebab komandannya ini ikutan merayu, “Buat sedekah katanya Pak”, begitu kata komandannya.
Subhaanallaah, satu pom bensin itu menyaksikan perubahan ini. Sebab cerita si security ini sama komandannya, yang merupakan kisah pertemuannya dengan saya, menjadi kisah yang dinanti the end story nya. Termasuk dinanti oleh bos nya.
“Kita coba lihat, berubah ga tuh si sekuriti nasibnya”, begitu lah pemikiran kawan-kawannya yang tahu bahwa si security ini ingin berubah bersama Allah melalui jalan shalat dan sedekah. Hari demi hari, security ini dilihat sama kawan-kawannya rajin betul shalatnya. Tepat waktu terus. Dan lumayan istiqamah ibadah-ibadah sunnahnya. Bos nya yang mengetahui hal ini, senang. Sebab tempat kerjanya jadi barokah dengan adanya orang yang mendadak jadi saleh begini. Apalagi kenyataannya si security ga mengurangi kedisiplinan kerjaannya.. Malah tambah cerah muka nya.
Security ini mengaku dia cerah, sebab dia menunggu janjinya Allah. Dan dia tahu janji Allah pastilah datang. Begitu katanya, menantang ledekan kawan-kawannya yang pada mau ikutan rajin shalat dan sedekah, asal dengan catatan dia berhasil dulu.
Saya ketawa mendengar dan menuliskan kembali kisah ini. Bukan apa-apa, saya suka sama yang begini. Sebab insya Allah, pasti Allah tidak akan tinggal diam. Dan barangkali akan betul-betul mempercepat perubahan nasib si security. Supaya benar-benar menjadi tambahan uswatun hasanah bagi yang belum punya iman. Dan saya pun tersenyum dengan keadaan ini, sebab Allah pasti tidak akan mempermalukannya juga, sebagaimana Allah tidak akan mempermalukan si security. Suatu hari bos nya pernah berkata, “Kita lihatin nih dia. Kalo dia ga kasbon saja, berarti dia berhasil. Tapi kalo dia kasbon, maka kelihatannya dia gagal. Sebab buat apa sedekah 1 bulan gaji di depan yang diambil di muka, kalau kemudian kas bon. Percuma”. Tapi subhaanallah, sampe akhir bulan berikutnya, si sekuriti ini ga kasbon. Berhasil kah?
Tunggu dulu. Kawan-kawannya ini ga melihat motor besarnya lagi. Jadi, tidak kasbonnya dia ini, sebab kata mereka barangkali aman sebab jual motor. Bukan dari keajaiban mendekati Allah. Saatnya ngumpul dengan si bos, ditanyalah si sekuriti ini sesuatu urusan yang sesungguhnya adalah rahasia dirinya.
“Bener nih, ga kasbon? Udah akhir bulan loh. Yang lain bakalan gajian. Sedang situ kan udah diambil bulan kemaren”.
Security ini bilang tadinya sih dia udah siap-siap emang mau kasbon kalo sampe pertengahan bulan ini ga ada tanda-tanda. Tapi kemudian cerita si security ini benar-benar bikin bengong orang. Sebab apa? Sebab kata si security, pasca dia benahin shalatnya, dan dia sedekah besar yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya, yakni hidupnya di bulan depan yang dia pertaruhkan, trjadi keajaiban. Di kampung, ada transaksi tanah, yang melibatkan dirinya. Padahal dirinya ga trlibat secara fisik. Sekedar memediasi saja lewat sms ke pembeli dan penjual. Katanya, dari transaksi ini, Allah persis mengganti 10x lipat. Bahkan lebih. Dia sedekah 1,7jt gajinya. Tapi Allah mengaruniainya komisi penjualan tanah di kampungnya sebesar 17,5jt. Dan itu trjadi begitu cepat. Sampe-sampe bulan kemaren juga belum selesai. Masih tanggalan bulan kemaren, belum berganti bulan.
Kata si security, sadar kekuatannya sampe kayak gitu, akhirnya dia malu sama Allah. Motornya yang selama ini dia sayang-sayang, dia jual! Uangnya melek-melek buat sedekah. Tuh motor dia pake buat ngeberangkatin
satu-satunya ibunya yang masih hidup. Subhaanallaah kan? Itu jual motor, kurang. Sebab itu motor dijual cepat harganya ga nyampe 13 juta. Tapi dia tambahin 12 juta dari 17jt uang cash yang dia punya. Sehingga ibunya punya 25 juta. Tambahannya dari simpenan ibunya sendiri. Si security masih bercerita, bahwa dia merasa aman dengan uang 5 juta lebihan transaksi. Dan dia merasa ga perlu lagi motor. Dengan uang ini, ia
aman. Ga perlu kasbon. Mendadak si bos itu yang kagum. Dia lalu kumpulin semua karyawannya, dan
menyuruh si security ini bercerita tentang keberkahan yang dilaluinya selama 1 bulan setengah ini.
Apakah cukup sampe di situ perubahan yang trjadi pada diri si security? Engga. Si security ini kemudian diketahui oleh owner pom bensin tersebut sebagai sarjana S1 Akuntansi. Lalu dia dimutasi di perusahaan si owner yang lain, dan dijadikan staff keuangan di sana. Masya Allah, masya Allah, masya Allah. Berubah, berubah, berubah.
Saudara-saudaraku sekalian.. Cerita ini bukan sekedar cerita tentang Keajaiban Sedekah dan Shalat saja. Tapi soal tauhid. soal keyakinan dan iman seseorang kepada Allah, Tuhannya. Tauhid, keyakinan, dan imannya ini bekerja menggerakkan dia hingga mampu berbuat sesuatu. Tauhid yang menggerakkan!
Begitu saya mengistilahkan. Security ini mengenal Allah. Dan dia baru sedikit mengenal Allah. Tapi lihatlah, ilmu yang sedikit ini dipake sama dia, dan diyakini. Akhirnya? Jadi! Bekerja penuh buat perubahan dirinya, buat perubahan hidupnya. Subhaanallaah, masya Allah.
Sabtu, 05 November 2011
AKU KALAH SAMA SI NENEK PENJUAL SAPU
Saat aku sedang mencari penjual kambil kurban yang murah, dengan membandingkan harga beberapa penjual kambing, saya temukan kambing yang paling bagus dan gemuk, saya mencoba nawar-nawar harganya, ehh … ternyata si penjual kambing tetap bertahan tak mau menggeser sedikitpun harga kambingnya…
Tiba-tiba datang seorang nenek tua, berusia 70 tahunan datang menanyakan harga kambing yang juga sedang saya tawar. Tanpa bicara banyak dan tanpa nawar harga langsung mengeluarkan uang dari dompetnya yang kusam dan membeli kambing tersebut.
Waduh keduluan si nenek ...... sambil terkagum sama si nenek, iseng-iseng saya tanya, "Buat apa kambingnya nek?" si nenek bilang kalau dia beli kambing mau ikut kurban. Terus saya tanya lagi, "Kok belinya sendiri, emangnya nggak ada anak atau saudara nenek yang mau disuruh untuk beli kambing.??? ‘
ehhh......, Ternyata si nenek udah lama hidup sebatang kara, dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, beliau jualan sapu lidi yang dibuatnya sendiri dari pelepah daun kelapa.
Sambil mengelus dada saya berucap, "Subhanallah nek, nenek masih sanggup berkorban dari hasil jualan sapu lidi." Si nenek pun tersenyum dan ini satu hal yang nggak bisa saya lupakan, ternyata si nenek bukan saat ini saja berkorban, tapi sudah beberapa tahun ia selalu berkorban.
Beliau menabung setiap hari seribu-dua ribu rupiah, hasil menjual sapu lidi. Yang mengejutkan lagi si Nenek bilang, "Mas, gusti Allah sudah demikian sayang sama nenek, setiap hari Dia beri nenek nikmat-nikmat yang hanya dapat nenek hargai dengan beberapa ribu rupiah. Mas, kalau Dia memberi rezeki lebih, sebenarnya nenek ingin pergi haji, tapi Mas tahu sendiri ongkos ke sana mahal dan fisik nenek juga sudah nggak memungkinkan…
"Tapi Nek ...... kenapa Nenek beli kambing tanpa nawar seperti saya ?" tanyaku lagi. "Nenek tahu, gusti Allah Maha kaya tidak pernah lupa kasih duit sama nenek dan nggak pernah nawar rizki yang diberikan kepada nenek walau tidak banyak. Hanya ini yang bisa nenek korbankan untuk membalas setiap nikmat-Nya…"
Seketika saya terkesiap, tiba-tiba rasa malu muncul dan mengalir deras dalam hati saya, ternyata seorang nenek mau bersusah payah berkorban tiap tahun untuk membalas berjuta nikmat yang telah dilimpahkan-Nya tiap hari, sedang saya yang telah di beri rezeki lebih terkadang masih merasa sayang, bila harus membeli kambing untuk berkorban masih menawar harga dan takut kemahalan, padahal saya sadar berqurban bentuk pengorbanan kepada ALLAH.
"Apa yang sudah ku perbuat untuk Tuhanku?? sedangkan aku setiap hari berikrar bahwa aku mencintainya…??? dan bahkan setiap hari Tuhanku tetap memberikanku begitu banyak rezeki walau aku….. Astagfirullahaladziim….’
Bayangan dan kekhawatiran uangku berkurang , perlahan-lahan menghilang, berganti dengan bayangan gema Takbir saat begitu banyak orang-orang yang membeli kambing, domba dan sapi untuk di sembelih dengan menyebut asma Allah.
Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar.. Laillahaillah Wallahuakbar…
Minggu, 30 Oktober 2011
TUHAN TIDAK PERLU DIBELA
Apa yang ada dibenak anda ketika membaca judul tulisan di atas? Mungkin ada yang marah, kesel, geram dan sejenisnya. Mungkin ada juga yang menuduh bahwa judul tulisan ini melecehkan salah satu agama. Waduh, sepertinya rada kontroversial bahkan cenderung provokatif ya? Salah-salah, saya bisa dituduh sebagai orang kafir bahkan atheis sekalian. Hehe. Tapi sabar dulu, teman. Jangan menduga-duga, jangan mengira-ngira. Lebih baik baca sampai tuntas tulisan ini, setelah itu marilah kita renungkan bersama-sama.
Judul tulisan tersebut sama dengan judul sebuah buku yang ditulis KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yakni “Tuhan Tidak Perlu Dibela” yang diterbitkan oleh LkiS (1999). Isi bukunya sendiri berisi kritik mendasar terhadap pengetahuan, pemikiran, dan gerakan yang ditampilkan oleh komunitas Muslim yang saat itu lebih senang menampilkan sosok sektarianisme. Lebih lanjut, buku ini mencerminkan sikap Gus Dur untuk mengedepankan semangat kebersamaan, keadilan, dan kemanusiaan serta demokratisasi dalam menyikapi berbagai perkembangan dalam kehidupan sosial politik di Indonesia. Intinya, buku ini mengajak kita untuk menampilkan sikap arif dalam hidup untuk tidak banyak mencela pemahaman agama orang lain, sekaligus menghormatinya dalam kerangka demokrasi dan hak asasi manusia.
Namun, saya tidak akan membahas lebih jauh tentang buku ini. Yang menarik perhatian saya adalah judul buku yang cenderung kontroversial itu. Memang, selama ini Gus Dur cenderung “menyimpang” dari tata nilai kehidupan umum di masyarakat. Hingga akhirnya setelah memahami dengan hati yang lapang, mendadak saya tertawa sendiri. Judul buku yang ditulis Gus Dur itu ternyata tidak salah. Bahkan, saya berani menjamin bahwa judul buku itu 100 persen benar. Judul tulisan di atas bukan mencerminkan pelecehan terhadap suatu agama tertentu. Bukan pula ucapan seorang yang kafir atau cenderung atheis. Bukan, tetapi justru merupakan sebuah ungkapan hati yang tulus dari seorang hamba di hadapan Tuhannya. Gus Dur sepertinya sengaja membalik logika berpikir kita selama ini. Cenderung kontroversial, tetapi setelah dipikir-pikir, ucapannya (atau yang dia tulis) ternyata masuk akal juga.
Coba renungkan, teman. Judul tulisan ini ternyata sejalan dengan akidah tauhid yang kita pegang selama ini. Bahkan sudah diajarkan ketika masih duduk di bangku sekolah masa kanak-kanak dulu. Kita diajarkan bahwa Tuhan Maha Segalanya. Andaikan semua manusia di muka bumi ini tunduk beribadah kepada-Nya, maka hal ini tidak akan menambah kesempurnaan Tuhan yang memang telah sempurna. Begitu juga sebaliknya. Andaikan semua manusia itu membangkang alias tidak patuh kepada-Nya, maka hal itu tidak akan menurunkan derajat kesempurnaan-Nya sedikit pun. Karena Dia adalah Tuhan, Maha dari Segala Maha. Pemiliki Segala Sesuatu. Maka sudah sepantasnya kalau Dia tidak perlu dibela atau tidak memerlukan pembelaan kita sebagai makhluk-Nya. Yang perlu dibela sebenarnya adalah kita, manusia. Tuhan tidak memerlukan hal itu karena Dia Maha Sempurna.
Logikanya gini. Anda adalah seorang manusia (termasuk juga saya, hehehe). Jika banyak orang yang memuji anda, patuh pada anda, maka secara otomatis gengsi anda naik. Anda benar-benar dikagumi. Tetapi disaat lain, ketika semua orang mencela anda, menjelekkan anda, tidak patuh lagi kepada anda, maka anda baru saja kehilangan gengsi anda di mata mereka. Begitu bukan? Dan Tuhan bukanlah manusia. Jika Dia perlu pembelaan, berarti dia bukan tuhan tetapi manusia juga seperti kita. Tuhan sudah Maha Sempurna, dan tidak memerlukan pembelaan makhluk-Nya sedikit pun.
Lalu bagaimana jika agama kita, nama Tuhan kita dihina, dicacimaki dan sejenisnya? Apakah kita hanya diam saja hanya gara-gara kalimat “Tuhan Tidak Perlu Dibela”? Mmm… tentu tidak. Mungkin orang yang melakukan hal ini adalah dikarenakan belum memahami benar hakikat agama yang kita anut. Lebih baik kita beri pemahaman dengan cara yang baik (ma’ruf), bukan dengan cara radikal, seperti kekerasan yang membabi buta. Agama diciptakan bukan untuk sebuah kekacauan, tetapi justru untuk kebaikan umatnya (rahmatan lil ‘alamin). Namun, jika setelah diberi pengertian, mereka masih saja ‘membandel’, maka serahkan segalanya kepada Sang Pemilik Segala, Tuhan Yang Maha Esa. Karena hanya Dialah yang membolak-balikkan hati manusia.
Lebih lanjut, semua ibadah yang kita lakukan bukanlah bertujuan untuk menaikkan derajat kesempurnaan Tuhan, tetapi sebenarnya untuk kita sendiri. Tuhan, hakikatnya bukan memerlukan kita untuk menyembah-Nya, tetapi manusialah yang perlu untuk menyembah-Nya. Semua amal ibadah kita akhirnya akan kembali pada diri kita sendiri, bukan untuk Tuhan. Makanya ada surga dan neraka yang sengaja dipersiapkan untuk umat manusia di akhirat kelak. Manifestasi ibadah yang kita lakukan hendaknya merupakan sebuah bentuk rasa syukur kita kepada-Nya. Semacam ungkapan terima kasih kepada sang Maha Pencipta karena telah diberi nikmat yang begitu banyak. Maka tidaklah salah jika ada ungkapan yang mengatakan kalau ibadah bukanlah sebuah kewajiban, tetapi merupakan sebuah kebutuhan yang harus kita prioritaskan, seperti halnya kebutuhan primer manusia. Maka tak jarang dalam kisah-kisah sufistik, begitu banyak para sufi yang rela meninggalkan “dunia” hanya untuk menikmati kelezatan beribadah kepada-Nya.
Sekali lagi, kita hanyalah manusia, makhluk yang lemah di hadapan Tuhan Yang Maha Sempurna. Dia tak perlu dibela karena Dia Maha Kuasa. Pembelaan yang kita lakukan kepada-Nya hanyalah merupakan suatu bentuk manifestasi ibadah yang akan kembali untuk diri kita sendiri. Maka masih pantaskah kita angkuh dan membanggakan diri, padahal sebenarnya kita bukanlah apa-apa.
Judul tulisan tersebut sama dengan judul sebuah buku yang ditulis KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yakni “Tuhan Tidak Perlu Dibela” yang diterbitkan oleh LkiS (1999). Isi bukunya sendiri berisi kritik mendasar terhadap pengetahuan, pemikiran, dan gerakan yang ditampilkan oleh komunitas Muslim yang saat itu lebih senang menampilkan sosok sektarianisme. Lebih lanjut, buku ini mencerminkan sikap Gus Dur untuk mengedepankan semangat kebersamaan, keadilan, dan kemanusiaan serta demokratisasi dalam menyikapi berbagai perkembangan dalam kehidupan sosial politik di Indonesia. Intinya, buku ini mengajak kita untuk menampilkan sikap arif dalam hidup untuk tidak banyak mencela pemahaman agama orang lain, sekaligus menghormatinya dalam kerangka demokrasi dan hak asasi manusia.
Namun, saya tidak akan membahas lebih jauh tentang buku ini. Yang menarik perhatian saya adalah judul buku yang cenderung kontroversial itu. Memang, selama ini Gus Dur cenderung “menyimpang” dari tata nilai kehidupan umum di masyarakat. Hingga akhirnya setelah memahami dengan hati yang lapang, mendadak saya tertawa sendiri. Judul buku yang ditulis Gus Dur itu ternyata tidak salah. Bahkan, saya berani menjamin bahwa judul buku itu 100 persen benar. Judul tulisan di atas bukan mencerminkan pelecehan terhadap suatu agama tertentu. Bukan pula ucapan seorang yang kafir atau cenderung atheis. Bukan, tetapi justru merupakan sebuah ungkapan hati yang tulus dari seorang hamba di hadapan Tuhannya. Gus Dur sepertinya sengaja membalik logika berpikir kita selama ini. Cenderung kontroversial, tetapi setelah dipikir-pikir, ucapannya (atau yang dia tulis) ternyata masuk akal juga.
Coba renungkan, teman. Judul tulisan ini ternyata sejalan dengan akidah tauhid yang kita pegang selama ini. Bahkan sudah diajarkan ketika masih duduk di bangku sekolah masa kanak-kanak dulu. Kita diajarkan bahwa Tuhan Maha Segalanya. Andaikan semua manusia di muka bumi ini tunduk beribadah kepada-Nya, maka hal ini tidak akan menambah kesempurnaan Tuhan yang memang telah sempurna. Begitu juga sebaliknya. Andaikan semua manusia itu membangkang alias tidak patuh kepada-Nya, maka hal itu tidak akan menurunkan derajat kesempurnaan-Nya sedikit pun. Karena Dia adalah Tuhan, Maha dari Segala Maha. Pemiliki Segala Sesuatu. Maka sudah sepantasnya kalau Dia tidak perlu dibela atau tidak memerlukan pembelaan kita sebagai makhluk-Nya. Yang perlu dibela sebenarnya adalah kita, manusia. Tuhan tidak memerlukan hal itu karena Dia Maha Sempurna.
Logikanya gini. Anda adalah seorang manusia (termasuk juga saya, hehehe). Jika banyak orang yang memuji anda, patuh pada anda, maka secara otomatis gengsi anda naik. Anda benar-benar dikagumi. Tetapi disaat lain, ketika semua orang mencela anda, menjelekkan anda, tidak patuh lagi kepada anda, maka anda baru saja kehilangan gengsi anda di mata mereka. Begitu bukan? Dan Tuhan bukanlah manusia. Jika Dia perlu pembelaan, berarti dia bukan tuhan tetapi manusia juga seperti kita. Tuhan sudah Maha Sempurna, dan tidak memerlukan pembelaan makhluk-Nya sedikit pun.
Lalu bagaimana jika agama kita, nama Tuhan kita dihina, dicacimaki dan sejenisnya? Apakah kita hanya diam saja hanya gara-gara kalimat “Tuhan Tidak Perlu Dibela”? Mmm… tentu tidak. Mungkin orang yang melakukan hal ini adalah dikarenakan belum memahami benar hakikat agama yang kita anut. Lebih baik kita beri pemahaman dengan cara yang baik (ma’ruf), bukan dengan cara radikal, seperti kekerasan yang membabi buta. Agama diciptakan bukan untuk sebuah kekacauan, tetapi justru untuk kebaikan umatnya (rahmatan lil ‘alamin). Namun, jika setelah diberi pengertian, mereka masih saja ‘membandel’, maka serahkan segalanya kepada Sang Pemilik Segala, Tuhan Yang Maha Esa. Karena hanya Dialah yang membolak-balikkan hati manusia.
Lebih lanjut, semua ibadah yang kita lakukan bukanlah bertujuan untuk menaikkan derajat kesempurnaan Tuhan, tetapi sebenarnya untuk kita sendiri. Tuhan, hakikatnya bukan memerlukan kita untuk menyembah-Nya, tetapi manusialah yang perlu untuk menyembah-Nya. Semua amal ibadah kita akhirnya akan kembali pada diri kita sendiri, bukan untuk Tuhan. Makanya ada surga dan neraka yang sengaja dipersiapkan untuk umat manusia di akhirat kelak. Manifestasi ibadah yang kita lakukan hendaknya merupakan sebuah bentuk rasa syukur kita kepada-Nya. Semacam ungkapan terima kasih kepada sang Maha Pencipta karena telah diberi nikmat yang begitu banyak. Maka tidaklah salah jika ada ungkapan yang mengatakan kalau ibadah bukanlah sebuah kewajiban, tetapi merupakan sebuah kebutuhan yang harus kita prioritaskan, seperti halnya kebutuhan primer manusia. Maka tak jarang dalam kisah-kisah sufistik, begitu banyak para sufi yang rela meninggalkan “dunia” hanya untuk menikmati kelezatan beribadah kepada-Nya.
Sekali lagi, kita hanyalah manusia, makhluk yang lemah di hadapan Tuhan Yang Maha Sempurna. Dia tak perlu dibela karena Dia Maha Kuasa. Pembelaan yang kita lakukan kepada-Nya hanyalah merupakan suatu bentuk manifestasi ibadah yang akan kembali untuk diri kita sendiri. Maka masih pantaskah kita angkuh dan membanggakan diri, padahal sebenarnya kita bukanlah apa-apa.
Langganan:
Postingan (Atom)